Jumat, 11 Maret 2011

MENCARI NABI MUHAMMAD YANG HISTORIS

MENCARI MUHAMMAD YANG HISTORIS
Mengapa Qur’an tidak dapat dipahami secara terpisah dari Hadith
Memisahkan fakta dari fiksi di dalam Hadith – dan mengapa ini sangat tidak mungkin dilakukan
Sumber-sumber terbaik yang paling mula-mula mengenai detil kehidupan Muhammad
Mengapa fakta historis dan kepercayaan orang Muslim mengenai Muhammad tidak sama
APA YANG BENAR-BENAR DAPAT KITA KETAHUI MENGENAI MUHAMMAD?
KEBANYAKAN ORANG BARAT YANG NON-MUSLIM SAMA SEKALI TIDAK TAHU TENTANG nabi umat Islam ini. Sementara dunia Barat setelah jaman Kristen masih sangat mengenal kisah Yesus Kristus, dan banyak orang dapat menceritakan kisah Buddha Gautama yang mendapatkan pencerahan ketika ia sedang duduk di bawah pohon Bodhi, figur Muhammad bagi kebanyakan orang non-Muslim tetap asing, jauh dan sama sekali tidak dikenal.
Orang Muslim akan berkata bahwa orang non-Muslim tidak peduli soal Muhammad karena mereka memilih untuk bersikap demikian, dan tidak ingin mengetahuinya. Para juru bicara Islam secara umum beranggapan bahwa kita dapat mengetahui banyak hal mengenai Muhammad. Muqtedar Khan dari Center for Sudy of Islam and Democracy mengemukakan sebuah asumsi umum ketika ia berkata: “Aspek yang luar biasa dari hidup Muhammad adalah bahwa ia hidup dalam kepenuhan terang sejarah. Ada catatan-catatan yang sangat mendetil mengenai kehidupannya yang dapat kita peroleh. Catatan-catatan mengenai kehidupan figur-figur penting dalam agama-agama lain tidak selengkap/sebaik catatan mengenai Muhammad”.(1) Ernest Renan, seorang sarjana Perancis, pada tahun 1851 adalah orang pertama yang menulis bahwa Muhammad hidup “dalam kepenuhan terang sejarah”.
QUR’AN
Qur’an memuat banyak detil mengenai insiden-insiden tertentu dalam hidup nabi, tetapi bukanlah sebuah narasi yang berkelanjutan – dan insiden-insiden itu tidak berhubungan dan seringkali diceritakan secara tidak langsung atau tidak lengkap, seakan-akan para pendengarnya telah mengetahui garis besar kisah itu. Allah, menurut pandangan tradisional Muslim, mendiktekan setiap kata dalam Qur’an kepada nabi Muhammad melalui malaikat Gabriel. Menurut tradisi Islam, Qur’an adalah salinan yang sempurna dari sebuah kitab yang abadi - yaitu umm al-kitab, atau Ibu dari Kitab – yang telah ada selamanya bersama Allah. Qur’an disampaikan melalui Gabriel kepada Muhammad sedikit demi sedikit selama 23 tahun karir kenabiannya.

Allah sendiri adalah satu-satunya pembicara di hampir keseluruhan Qur’an. (Kadangkala Muhammad tampaknya sedikit keliru mengenai hal ini: sebagai contoh Sura 48:27, yang memuat kata “jika Allah berkehendak” – sebuah ungkapan yang janggal jika itu digunakan oleh Allah sendiri). Seringkali Ia langsung berbicara kepada Muhammad, mengatakan padanya apa yang harus dikatakannya mengenai berbagai hal. Allah memberi kewajiban pada semua Muslim melalui Muhammad, memberikannya instruksi-instruksi mengenai hukum-hukum yang harus dipenuhi: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. ‘Haid itu adalah kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka; sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” (Sura 2:222).
Namun seringkali masalah yang ada tidak disampaikan secara langsung/terus-terang: membaca Qur’an acapkali hanya seperti sebuah percakapan antara dua orang yang salah-satunya tidak terlalu dikenal. Ketika para apologis Islam mengatakan bahwa para teroris mengutip Qur’an diluar konteks demi mendukung jihad, mereka tidak menyebutkan bahwa Qur’an sendiri seringkali hanya memberikan sedikit konteks. Seringkali Qur’an membuat referensi mengenai orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang terjadi tanpa peduli untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Sebagai contoh – saya menanyakan minat para pembaca saat kita mempelajari Qur’an dan eksegesenya, yang dapat terlihat sedikit membingungkan – kelima ayat pertama dari Sura 66 dalam Qur’an berbunyi demikian:
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafsa) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsa) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafsa dengan Aisyah) kepada Muhammad dan Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsa). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsa dengan Aisyah) lalu Hafsa bertanya: ‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab: ‘Telah diberitahukan padaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal’. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya, dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang Mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan”.
Sangatlah mustahil untuk menceritakan dari bagian ini apa yang telah diharamkan Nabi yang telah dihalalkan Allah baginya, atau bagaimana ia berusaha menyenangkan hati para istrinya, atau dalam keadaan bagaimana Allah mengijinkan pembatalan sumpah, atau rahasia apa yang dikatakan para istrinya yang kemudian Allah beritahukan kepada Muhammad, atau bahkan istri-istri mana yang ditegur, diingatkan untuk bertobat dan tidak bersekongkol untuk melawan Muhammad, dan yang diancam akan diceraikan. Keseluruhan bagian ini – dan masih banyak lagi yang seperti itu dalam Qur’an –, benar-benar kabur bagi siapapun yang tidak secara langsung mengetahui peristiwa apa yang telah terjadi sebelumnya.
Tetapi tradisi Islam melengkapi kisah ini – dan melakukannya dalam konteks seorang Muslim pertama, Abdullah bin ‘Abbas, yang bertanya pada Khalif Umar, seorang sahabat Nabi dan penerusnya yang kedua sebagai seorang pemimpin dari komunitas Muslim (Umma), mengenai ayat-ayat Qur’an ini. Dalam musim Haji – ziarah ke Mekkah – Abdullah bertemu dengan Umar dan mengajukan pertanyaan: “Wahai pemimpin orang beriman! Siapakah dua wanita diantara istri-istri Nabi yang kepada mereka Allah berkata: ‘Jika kamu berdua bertobat?” (Sura 66:4).
Umar menjawab, “Saya terperanjat mendengar pertanyaanmu, wahai Ibn Abbas. Mereka adalah Aisha dan Hafsa”. Menurut Umar, Hafsa salah-satu istri Muhammad, marah kepada Nabi dan menegurnya dengan keras. Maka ketika Umar mengetahui bahwa Muhammad telah menceraikan semua istrinya, ia tidak terkejut; ia berkata: “Hafsa adalah seorang pengacau! Saya sudah menduga hal seperti ini suatu hari akan terjadi”.
Umar pergi menemui Muhammad, yang pada mulanya menolak untuk menerimanya, namun kemudian mengalah. “Aku memberinya salam ketika ia masih berdiri, aku berkata: ‘Apakah engkau telah menceraikan istri-istrimu?’ Ia menatapku dan mengatakan bahwa ia belum melakukannya”. Umar kemudian mengeluhkan istrinya yang telah menjadi tidak taat oleh karena pengaruh beberapa wanita yang baru menjadi Muslim. Kemudian Umar berkata, “Nabi tersenyum”. Dan ia tersenyum lagi ketika Umar mengatakan bahwa ia telah memberitahu Hafsa agar tidak memarahi Muhammad; Aisha istri Muhammad, tidak mendapatkan masalah jika berlaku demikian pada Nabi hanya karena ia lebih cantik dari semua istri nabi yang lain dan Muhammad sangat mencintainya.
Umar menjelaskan kepada Abdullah bahwa “Nabi tidak pergi kepada istri-istrinya karena rahasia yang dibukakan Hafsa kepada Aisha, dan ia mengatakan bahwa ia tidak akan mengunjungi istri-istrinya selama sebulan karena ia marah pada mereka ketika Allah menegurnya (oleh karena ia telah bersumpah untuk tidak lagi mendekati Maria). Ketika 29 hari telah berlalu, Nabi pertama-tama mengunjungi Aisha.(2)
Tetapi Umar tidak mengatakan apa rahasia Hafsa. Menurut beberapa pihak yang berwenang, Hafsa telah memergoki Muhammad di ranjang dengan selirnya, Maria orang Koptik, pada hari yang mestinya dihabiskannya dengan Hafsa. Muhammad berjanji untuk menjauhi Maria dan meminta Hafsa untuk merahasiakan hal itu, namun Hafsa menceritakannya pada Aisha. Kemudian Allah campur tangan dengan memberi wahyu ancaman perceraian yang kini kita temukan dalam Sura 66, membebaskan Muhammad dari sumpahnya untuk menjauhi Maria.(3) Tetapi tradisi lain menjelaskan hal ini dengan sangat berbeda. Aisha menjelaskan:
“Nabi biasanya menghabiskan banyak waktu dengan Zainab bint Jahsh (salah-satu istrinya) dan minum madu di rumahnya. Maka Hafsa dan saya memutuskan bahwa jika Nabi datang kepada salah-satu dari kami, ia harus berkata pada Nabi, ‘Saya mencium bau Maghafir (sejenis permen yang berbau busuk) padamu. Apakah kamu baru makan Maghafir?’ Maka nabi akan mengunjungi salah-satu dari mereka dan istrinya itu akan menanyakannya hal yang sama. Nabi berkata: ‘Tak apalah, saya telah minum sedikit madu di rumah Zainab bint Jahsh, tapi saya tidak akan meminumnya lagi’. Lalu turunlah wahyu: ‘Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu...jika kedua istrimu bertobat kepada Allah,’ (Sura 66:1-4) menunjuk kepada Aisha dan Hafsa. ‘ketika Nabi mengemukakan hal ini pada beberapa dari istrinya,’ (66:3) yaitu perkataannya bahwa: saya telah minum sedikit madu”.(4)
Dalam skenario ini wahyu dalam Sura 66 hanya memperhatikan kecemburuan istri-istrinya (atau boleh jadi bau mulut Muhammad) dan sumpahnya untuk berhenti minum madu. Dalam hal ini apa yang telah diharamkan Muhammad bagi dirinya yang kemudian dihalalkan Allah adalah madu. Jelasnya, Muhammad berusaha menyenangkan para istrinya dengan berjanji untuk tidak minum madu, dan Allah mengijinkannya untuk membatalkan sumpahnya ini dan mengancam menceraikan istri-istrinya yang bersalah.
Dalam Hadith yang lain, Umar menyombongkan diri karena telah turut memberi inspirasi dalam wahyu ini: “Pernah istri-istri Nabi bersekongkol melawan Nabi dan aku berkata kepada mereka: ‘Jika seandainya Nabi menceraikan kamu (semua) maka Tuhannya (Allah) akan memberikan kepadanya istri-istri yang lebih baik dari kalian”. Maka ayat ini [(Sura 66:5) sama seperti apa yang telah saya katakan] telah diwahyukan”.(5)
Jika kita mengesampingkan pertanyaan tentang natur dari sebuah wahyu ilahi berkenaan dengan kesehatan mulut Nabi atau kecemburuan para istrinya, maka jelaslah bahwa penjelasan-penjelasan tradisional Islam yang samar-samar, maupun pernyataan-pernyataan kiasan dalam Sura 66 kemungkinan besar direkonstruksikan dari Qur’an saja.
HADITH
Dalam menyikapi kualitas potongan-potongan narasi Qur’an, orang Muslim mula-mula menggunakan 2 sumber utama untuk menyediakan konteks bagi Qur’an, yaitu: tafsir dan hadith, tradisi mengenai Nabi Muhammad. Dan sejumlah besar (walaupun tidak terlalu bermakna sama sekali) dari hadith itu sendiri adalah tafsir. Ini memberikan asbab an-nazool, atau keadaan/situasi saat pewahyuan (seperti yang telah kita lihat dalam Sura 66:1-5), untuk berbagai ayat dalam Qur’an – yang dapat mempunyai implikasi yang penting berkenaan dengan bagaimana ayat tersebut diaplikasikan dalam jaman modern. Sebagai contoh, sebuah hadith mencatat keadaan pada saat Muhammad sedang membaca sebuah ayat Qur’an yang mengolok orang Muslim yang tidak berpartisipasi dalam jihad: “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas yang duduk dengan pahala yang besar”. (Sura 4:95)
Saat Muhammad sedang membaca ayat ini, ada seorang yang buta kemudian menanggapi: “Wahai Utusan Allah! Jika saya mampu pasti saya akan ikut berjihad”. Maka “Allah kemudian menurunkan sebuah wahyu kepada Utusan-Nya” yang menjadi bagian dari ayat itu, yang membebaskan sahabat Nabi yang buta itu dari penghukuman: “selain dari mereka yang memiliki sakit (yang melumpuhkan/membuat cacat)”.(6)
Sunnah, atau model/contoh Nabi, yang sebahagian besar terdiri dari hadith, adalah otoritas tertinggi kedua setelah Qur’an bagi banyak orang Muslim, dan memuat sejumlah besar informasi mengenai Muhammad. Dari Sunnah inilah lahir banyak hukum yang membedakan masyarakat islami dari kelompok masyarakat lainnya. Sunnah sangat penting dalam pemikiran Islam sehingga menurut sarjana Islam Ahmad Von Denffer, “ada kesepakatan diantara para sarjana Muslim bahwa isi Sunnah (sebagai tambahan untuk Qur’an) juga berasal dari Allah. Oleh karena mereka telah menggambarkannya juga sebagai hasil dari suatu bentuk inspirasi”.(7)
Dari sudut pandang yang menguntungkan sejak 1400 tahun yang lalu, secara kasat mata mustahil untuk mengatakan dengan pasti apa yang otentik dalam informasi yang banyak ini dan apa yang tidak. Orang Muslim sendiri mengakui bahwa ada banyak ahadith (bentuk jamak dari hadith) yang palsu, yang ditulis sebagai petunjuk Nabi terhadap pandangan atau praktek-praktek suatu kelompok tertentu dalam komunitas Muslim mula-mula. Ini memunculkan pertanyaan yang sulit dijawab berkenaan dengan historisitas dari apa yang sesungguhnya dikatakan dan dilakukan Muhammad. Tetapi itu tidak berarti bahwa Hadith tidak mempunyai relevansi dalam kehidupan orang Muslim. Dalam menyikapi kebingungan yang disebabkan oleh perkembangan ahadith yang palsu, kira-kira pada awal sejarah Islam beberapa orang Muslim mengumpulkan koleksi-koleksi catatan-catatan dari perkataan dan perbuatan Nabi yang mereka anggap sedikit banyak bersifat otentik dan penting.(7) Pada abad ke-9 beberapa sarjana Islam menjelajahi dunia Muslim mengumpulkan tradisi-tradisi mengenai Muhammad dan kemudian berusaha untuk memisahkan yang benar dari yang palsu. Imam Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari (810-870), yang mengumpulkan banyak koleksi hadith yang berotoritas dan berharga (yang dikenal sebagai Sahih Bukhari), dikatakan telah mengumpulkan 300.000 ahadith. Kesemuanya ini dipelajarinya dengan teliti, ia berusaha untuk menapaki ulang tiap-tiap ahadith tersebut melalui sebuah rantai transmisi (isnad) hingga kepada Nabi Muhammad sendiri. Pada puncaknya, ia memilih dan menerbitkan sekitar 2000 ahadith yang dipandang otentik; pengulangan-pengulangan membawa sekitar lebih dari 7000 ahadith ke dalam koleksinya.
Sahih Bukhari sendiri mengisi 9 volume dalam sebuah edisi mewah Inggris-Arab yang diterbitkan di Arab Saudi. Di samping menyediakan konteks bagi sejumlah besar ayat dalam Qur’an, ia juga memberikan pada para pembaca pemahaman mengenai kehidupan pribadi Muhammad, hikmat dan teladannya sehubungan dengan sejumlah besar topik, termasuk soal wudhu, karakteristik doa dan sikap dalam bersembahyang, pemakaman, kewajiban membayar pajak amal (zakat), kewajiban menunaikan ibadah Haji ke Mekkah, berpuasa, sikap yang baik, penjualan dan perdagangan, peminjaman, penyewaan, surat wasiat, pernikahan, perceraian, hukum waris, jihad dan penundukkan, penghukuman atas orang-orang yang tidak beriman, uang darah, dan masih banyak lagi – bahkan penafsiran mimpi.
Sahih Bukhari hanyalah salah satu dari 6 koleksi, semuanya panjang, yang oleh umat Muslim secara umum dipandang sebagai yang dapat dipercayai. Diantara semua Sahih Sittah ini, atau koleksi-koleksi yang dapat dipercayai, ada yang lain yang juga mendapat sebutan sahih-artinya yang dapat dipercayai, yaitu Sahih Muslim, yang dikumpulkan oleh Muslim ibn al-Hajjal al-Qushayri (821-875). Yang lainnya dipandang lebih rendah otoritasnya daripada Bukhari dan Muslim, namun masih sangat dihormati, yaitu: Sunan Abu-Dawud oleh Abu Dawud as-Sijistani (888); Sunan Ibn Majah oleh Muhammad ibn Majah (896), Sunan At-Tirmidhi oleh Abi’Eesaa Muhammad at-Tirmidhi (824-893), dan Sunan an-Nasai oleh Ahmad ibn Shu’ayb an-Nasai (915).
Yang juga sangat dihargai, walau tidak dihitung diantara Sahih Sittah, yaitu beberapa koleksi lain, terutama yang dikenal sebagai Muwatta Imam Malik (atau Muwatta Malik). Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir Al-Asbahi (715-801), atau Imam Malik, hidup hampir sejaman dengan Muhammad dibandingkan dengan semua kolektor ahadith lainnya – dan ia dilahirkan lebih dari 80 tahun setelah kematian Nabi.
Dalam Islam, studi mengenai Hadith adalah sebuah ilmu yang kompleks dan sangat menarik. Para sarjana menilai tiap-tiap tradisi berdasarkan kriteria seperti “bunyi”, “baik”, “lemah”, “palsu”, dan sebagainya. Jika sebuah tradisi muncul dalam Hadith Bukhari atau Muslim, maka para sarjana Muslim bersepakat bahwa tradisi itu sangat dapat dipercayai, dan jika tradisi itu muncul dalam keduanya (Bukhari dan Muslim) maka otentisitasnya jelas terjamin – setidaknya dari perspektif Muslim tradisional. Dan ini bukan hanya merupakan pandangan para sarjana Muslim, namun juga kaum awam: Bukhari dan Muslim dipandang sebagai sumber-sumber yang unggul. Suatu sumber internet islami, sementara menjamin para pembaca bahwa “tidak ada sesuatupun dalam situs ini yang melanggar prinsip-prinsip baku hukum Islam”, mengumpulkan pendapat umum orang Muslim secara ringkas: “Sahih Bukhari sangat terkemuka oleh karena keunggulannya”; berkenaan dengan Sahih Muslim, situs itu menambahkan: “Dari 300.000 Hadith yang telah diuji oleh Muslim, hanya kira-kira 4000 Hadith – yang dibagi ke dalam 42 kitab – yang dimasukkan ke dalam koleksinya berdasarkan pada suatu kriteria penerimaan yang keras”.(9)
Bukhari dan Muslim, hingga ke tingkatan yang lebih rendah dari koleksi-koleksi Sahih Sittah, tetap ada standar emas bagi ahadith. Penerjemah Inggris untuk Sahih Muslim, Abdul Hamid Siddiqi, menjelaskan bahwa Hadith “yang diakui sebagai yang sangat otentik dimasukkan ke dalam dua kompilasi yang luar-biasa ini”, dan “bahkan dari kedua ini, Bukhari menempati posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Muslim”.(10)
SIRA
Kemudian ada sira, atau biografi Muhammad. Bersama dengan Hadith dan Qur’an, sira membangun Sunnah. Biografi panjang yang pertama mengenai nabi Islam ini tidak muncul hingga 150 tahun setelah kematiannya. Penulis biografi Nabi yang pertama adalah Muhammad Ibn Ishaq Ibn Yasar, yang secara umum dikenal dengan Ibn Ishaq (704-773). Sementara banyak potongan biografi tercantum dalam sumber-sumber lain, setidaknya dalam Qur’an, Sirat Rasul Allah (Biografi Nabi Allah) karya Ibn Ishaq adalah usaha pertama untuk menyediakan sebuah narasi yang berkelanjutan mengenai kehidupan Muhammad.
Sayangnya, bentuk asli buku ini terhilang dalam sejarah. Buku ini hanya eksis dalam versi yang kemudian direvisi dan dipersingkat (walaupun masih tetap panjang) oleh Ibn Hisham, yang wafat pada 834 M, enam puluh tahun setelah Ibn Ishaq, dan dalam fragmen-fragmen yang dikutip para penulis Muslim mula-mula, termasuk seorang sejarawan lain, yaitu Muhammad Ibn Jarir at-Tabari (839-923). Ibn Hisham menjelaskan bahwa dalam versinya ia menghilangkan beberapa materi yang ada dalam biografi tulisan Ibn Ishaq, “hal-hal yang sangat memalukan untuk didiskusikan; hal-hal yang akan mempersulit orang-orang tertentu; dan laporan-laporan seperti yang dikatakan al-Bakka’i kepada saya, yang tidak dapat dipercayainya”.(11) Beberapa hal yang “memalukan” ini telah mengakibatkan Malik ibn Anas (715-801), yang adalah seorang pengumpul koleksi hadith yang penting, Muwatta, menyebut Ibn Ishaq “Antikristus” dan mengeluhkan sang penulis biografi “melaporkan tradisi-tradisi dengan otoritas orang Yahudi”. Malik dan Ibn Ishaq kemudian berbaikan, dan banyak pihak berwenang Muslim mula-mula menyaksikan keunggulan sang penulis biografi. Seorang Muslim yang mengenalnya selama bertahun-tahun menyatakan bahwa “tidak satupun orang Medina yang mencurigainya atau berbicara yang mencemoohkannya”; yang lainnya menyebutnya sebagai “yang paling setia kepada tradisi”.(12)
Orang Muslim secara umum telah menerima karya Ibn Ishaq sebagai yang dapat dipercayai berdasarkan pada fakta bahwa ketidaksukaan beberapa orang Muslim mula-mula seperti yang dirasakan oleh Malik tidak muncul dari keyakinan bahwa materi historisnya tidak dapat dipercayai, tapi dari tulisan-tulisannya mengenai hukum Islam. Ia dicurigai telah mengutip tradisi-tradisi sah dengan rantai transmisi yang tidak lengkap atau tidak tepat dan menetapkan otoritas atas bahan-bahan itu (walaupun ia teliti sekali dalam memasukkan rantai semacam itu bagi banyak catatan historisnya). Ia kemudian dituduh cenderung kepada Syiah dan penyimpangan-penyimpangan lainnya dari ortodoksi. Tetapi hakim agung Islam Ahmed ibn Hanbal (780-855) meringkaskan pandangan tersebut: “dalam maghazi (serangan-serangan militer Muhammad) hal-hal yang dikatakan oleh Ibn Ishaq dapat saja ditulis; tapi untuk hal-hal yang legal dibutuhkan konfirmasi lebih lanjut”.(13) Dengan kata lain, ia adalah seorang sumber sejarah yang baik, tetapi tidak dalam hal legislasi.
Namun demikian, tulisan mengenai kehidupan Muhammad karya Ibn Ishaq akurasinya dapat dipertanyakan. Sang penulis biografi Nabi adalah seorang Muslim yang beriman, bercita-cita menggambarkan Muhammad sebagai seorang tokoh yang lebih besar dari hidup itu sendiri. Ia melaporkan suatu insiden dimana istri seorang pria yang telah dibunuh oleh Muhammad, telah meracuni makan malam Nabi. Menurut Ibn Ishaq, nabi telah mempunyai firasat mengenai perbuatan wanita itu; ia memuntahkan daging yang beracun itu, dan berkata, “Tulang ini berkata padaku bahwa ia telah diracuni”.(14) Pada kesempatan lain, para pengikutnya menggali parit yang besar untuk pertempuran dan mereka menemukan sebuah batu yang sangat besar yang tidak dapat dipindahkan oleh siapapun. Nabi kemudian meludah ke air dan memercikkannya ke batu itu, sehingga penghalang itu kemudian “melembut hingga menjadi seperti pasir sehingga tidak dapat bertahan dari pukulan kapak atau cangkul”.(15)
Apapun keunggulannya sebagai seorang sejarawan, banyak gambaran Ibn Ishaq mengenai Muhammad selama berabad-abad telah masuk ke dalam alam sadar umat Muslim secara umum. Banyak insiden dalam kehidupan Nabi, termasuk yang kemudian sangat mempengaruhi sejarah Islam, tidak mempunyai sumber lain; catatan para sejarawan Muslim yang belakangan hanya bergantung pada Ibn Ishaq. Karyanya dibaca dan dihargai oleh orang Muslim pada masa kini; banyak toko buku Muslim yang masih menyimpan salinan biografinya diantara catatan-catatan modern mengenai Nabi.(16) Para sejarawan Muslim modern memuji akurasinya: Let.Jen. A.I. Akram dari Angkatan Bersenjata Pakistan, dalam biografinya mengenai Khalid bin Waleed – salah seorang sahabat Nabi Muhammad, yang dikenal dengan sebutan “Pedang Allah” – menjelaskan bahwa karya Ibn Hisham:
“...Seerah Rasoolullah, oleh Muhammad bin Ishaq (yang wafat pada 150 atau 151 H)17, tidak diragukan lagi adalah otoritas utama dari Seerah (biografi Nabi) dan literatur Maghazi (peperangan). Semua tulisan yang muncul setelah dia bergantung pada karyanya, yang walaupun telah kehilangan keutuhannya, telah diabadikan dalam karya Ibn Hisham yang luar biasa...karya Ibn Hisham diakui keunggulannya, ketelitian metodologi dan gaya literaturnya memiliki standar keindahan dan keanggunan yang tertinggi. Tidaklah mengejutkan jika kita menyebut bahwa Ibn Ishaq adalah sarjana ternama bukan hanya dalam bahasa Arab tetapi juga dalam ilmu mengenai hadith”.(18)
Javeed Akhter, penulis buku The Seven Phases of Prophet Muhammad’s Life, sepakat: “Apakah Ibn Ishaq dapat dipercayai? Ia tampak seakan-akan berhati-hati dalam tulisan-tulisannya. Sedang dalam keraguan ia seringkali mengawali sebuah pernyataan dengan kata ‘Za’ama’ (ia menduga kuat)”.(19) Dalam sebuah survey para sejarawan Muslim, Salah Zaimeche dari sebuah organisasi Muslim yang dikenal dengan Foundation for Science Technology and Civilization menulis mengenai Ibn Ishaq: “Ia mengoreksi Hadith, dan juga menyingkirkan laporan-laporan yang bersifat legenda dan puisi yang tidak dapat diyakini kebenarannya. Tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan Nabi (PBUH)20 dicatat dengan sangat teliti, dan pertempuran-pertempurannya digambarkan dalam banyak detil”.(21)
Dan dalam boigrafi modern mengenai Nabi (yang didistribusikan oleh Dewan Hubungan Amerika-Islam, sebuah kelompok yang menyebut diri mereka sebagai sebuah organisasi hak-hak sipil untuk membela orang-orang Muslim di Amerika), apologis Islam Yahiya Emerick memuji buku Sirat Rasul Allah yang ditulis oleh Ibn Ishaq sebagai “Salah satu usaha paling permulaan untuk mempresentasikan sebuah biografi lengkap mengenai Muhammad, dengan menggunakan sumber-sumber yang luas dan bervariasi.”(22)
Sarjana kontemporer Islam (seperti Abu Bakr Siraj Ad-Din, yang memeluk Islam) Martin Lings (1909-2005), yang karya biografinya yaitu Muhammad:His Life Based on the Earliest Sources dihargai oleh orang non-Muslim dan juga Muslim sendiri (dan memenangkan Penghargaan Lings di Mesir dan Pakistan), sepenuhnya bersandar pada 3 sumber, yaitu: biografi Ibn Ishaq; kumpulan kisah peperangan Muhammad oleh Muhammad ibn Umar al-Waqidi (823); dan tradisi-tradisi yang dikumpulkan oleh sekretaris Muhammad al-Waqidi, Muhammad Ibn Sa’d (845), yaitu: Kitab Al-Tabaqat Al-Kabir (Buku mengenai Pertikaian-Pertikaian Besar). Oleh karena dua yang terakhir ini lebih muda beberapa generasi dari Ibn Ishaq, sirat Rasul Allah masih berada pada posisi puncak sebagai sumber utama informasi mengenai Muhammad. Lings juga menggunakan “The History of the Messengers and the Kings” (Tarikh ar-Rasul wa ‘l-Muluk) oleh Tabari, sebagaimana juga Bukhari, Muslim, dan sumber-sumber hadith lainnya.
Oleh karena itu, saya terutama sekali bersandar pada sumber-sumber tersebut juga – terutama Ibn Ishaq, oleh karena karyanya secara kronologis paling tua, dan juga Ibn Sa’d, yang dipandang oleh banyak sarjana Muslim lebih dapat dipercayai sehubungan dengan transmisi hadithnya daripada al-Waqidi.(23) Saya juga akan menggunakan Bukhari dan Muslim secara ekstensif, demikian pula dengan koleksi hadith lainnya yang dipandang oleh orang-orang Muslim sebagai yang dapat dipercayai – semuanya itu untuk membangun sebuah gambaran mengenai Muhammad dari sumber-sumber islami, gambaran akan diperoleh seorang Muslim yang saleh jika ia ingin mempelajari lebih banyak mengenai kehidupan dan perkataan-perkataan nabinya.
FAKTA HISTORIS DAN KEYAKINAN MUSLIM
Dengan menggunakan Qur’an, Hadith dan Sira, apa yang paling dapat kita ketahui tentang Muhammad? Kepastian historis tentunya tidak mudah untuk didapat melalui teks yang kurang lengkap seperti Qur’an, yang dipenuhi dengan informasi yang salah seperti Hadith, dan selambat Sira. Bahkan Qur’an dalam opini beberapa sejarawan modern, “seperti yang kita miliki sekarang bukanlah sebuah karya dari Muhammad atau para redaksi Uthman... tetapi sebuah endapan tekanan sosial dan budaya dari dua abad Islam yang pertama”.(24) Sementara apologis Islam secara umum menyatakan dengan bangga bahwa teks Qur’an tidak pernah diubah dan tidak ada varian-varian lainnya, ada beberapa indikasi bahkan dalam beberapa tradisi Islam bahwa sesungguhnya hal ini tidaklah demikian. Seorang Muslim mula-mula, yakni Anas ibn Malik, melaporkan bahwa setelah sebuah peperangan yang menewaskan banyak orang Muslim, Qur’an sebenarnya memuat sebuah pesan dari orang Muslim yang terbunuh untuk mereka yang masih hidup: “Kemudian kami membaca sebuah ayat di dalam al-Qur’an dalam waktu yang panjang, (ayat yang) telah disingkirkan atau dilupakan. Maka nyatalah kepada umat kami bahwa kami telah bertemu Tuhan kami yang berkenan dengan kami dan kami menyenangkan-Nya”.(25)
Sementara itu, beberapa sarjana Barat seperti pakar hadith Ignaz Goldziher (1850-1921), juga John Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook, Christoph Luxenberg, dan yang lainnya, telah membuat sebuah terobosan dalam meneliti ahadith mana yang merefleksikan apa yang benar-benar dikatakan dan dilakukan Muhammad, dan mana yang merupakan legenda yang saleh – riset yang sering menyimpang secara tajam dari hikmat yang diterima oleh para sarjana Muslim berkenaan dengan Hadith.(26)
Dari sudut pandang historis yang sangat ketat, mustahil untuk menyatakan secara pasti bahwa ada seorang bernama Muhammad yang benar-benar pernah hidup, atau seandainya pun ia pernah ada dalam sejarah, ia banyak melakukan apa yang diceritakan mengenai dirinya. Seumpamanya pun ia pernah eksis – terutama berdasarkan catatan mengenai aspek-aspek kehidupannya yang sangat memalukan bagi orang Muslim di jaman sekarang (dan, dalam berbagai tingkatan yang berbeda di sepanjang sejarah), hal-hal itu dikonfrontasikan dengan sulitnya untuk disesuaikan dengan ukuran kepantasan di jaman modern ini. Sangat sulit untuk membayangkan bagaimana Muhammad menikahi seorang anak perempuan yang masih berusia 6 tahun, atau pernikahannya dengan mantan menantunya. Orang Muslim bergumul selama berabad-abad untuk menjelaskan hal-hal ini dan juga aspek-aspek kehidupan Muhammad lainnya; jika seorang editor atau kompilator dapat dengan begitu saja membuang atau melupakan hal-hal itu, pastilah ia akan melakukannya. Namun, beberapa sejarawan percaya bahwa Muhammad yang muncul di hadapan kita dalam Qur’an, Hadith, dan Sira adalah seorang figur yang campur-aduk, yang kemudian memberikan imperialisme dan mitos Arab. Yang lainnya juga telah mempertanyakan apakah Muhammad dalam sejarah benar-benar mempunyai hubungan dengan Mekkah dan Medina, atau jika kisah itu mendapatkan setting demikian untuk memposisikannya di kota-kota utama di Arab Saudi.
Spekulasi-spekulasi historis ini jelas sekali tidak berpengaruh pada doktrin atau praktek Islam. Oleh karena itu, tidak kurang penting untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan Muhammad daripada apa yang secara umum dipercayai oleh orang-orang Muslim mengenai kehidupan Muhammad, karena apa yang dipercayai oleh orang Muslim ini masih membentuk dasar bagi keyakinan, praktek, dan hukum orang Muslim. Penting untuk mengetahui Muhammad yang telah membentuk dan terus membentuk kehidupan banyak orang Muslim di seluruh dunia. Gambaran yang populer mengenai Muhammad, dan sejumlah besar legislasi Islam yang diterima oleh jutaan Muslim pada masa kini sebagai hukum Allah yang sebenarnya, telah diperinci dari perkataan dan perbuatannya dalam hadith yang oleh para ulama dan ahli hukum dari aliran-aliran Islam ortodoks, dipandang otentik.
Gambaran mengenai Muhammad seperti inilah yang menginspirasi orang Muslim di seluruh dunia, apakah itu baik atau jahat, dan itu tetaplah benar tanpa mempedulikan akurasi historis yang sebenarnya dari materi ini. Jutaan orang Muslim memandang Muhammad yang ada dalam Qur’an, Hadith dan Sira untuk mendapatkan tuntunan tentang bagaimana meneladani tokoh yang dalam tradisi Islam telah dianugerahi al-insan al-kamil, atau Manusia Sempurna. Konsep ini telah memainkan peranan yang penting dalam mistik Islam. Sarjana Itzchak Weismann, dalam mendiskusikan pemikiran mistik Amir ‘Abd al-Qadir al-Jaza’iri (1808-1883), yang telah mengobarkan jihad terhadap Perancis yang kemudian menjadi Algeria modern, menjelaskan bahwa dalam tradisi-tradisi mistik Islam, “Manusia Sempurna adalah kemanusiaan yang ideal. Dalam suatu kriteria yang ketat bahwa hanya Muhammad yang telah mencapai keadaan ini dengan sempurna, oleh karena hanya dalam dia nama-nama Ilahi telah dinyatakan dalam harmoni yang lengkap dan sempurna”.(27) Sementara beberapa orang Muslim yang tidak terlalu mistis akan mendapati bahwa ini adalah sebuah penghormatan yang berlebihan. Devosi populer terhadap Muhammad di kalangan orang Muslim di seluruh dunia tidak kurang bersemangat.
Itulah sebabnya sangatlah penting di jaman sekarang ini orang-orang Barat menjadi lebih akrab dengan satu figur yang mempesona ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar